Minggu, 01 Agustus 2010

Ketika mereka pergi

Salah satu teman saya dalam statusnya pernah menulis bahwa dia tidak akan menangis ketika orang yang disayanginya meninggal. Dia akan melepasnya dengan senyuman. Saya sudah merasakan kesedihan mendalam, ketika Apa pergi untuk selamanya pada bulan Agustus 2007. Kami anak2nya sudah siap jika sewaktu2 Apa pergi, namun ketika tiba saatnya, kesedihan tetap mendera.

Ketika itu, Apa terkena stroke pada sabtu malam. Dibawa ke rumah sakit, dan dirawat di ruang ICU. Sampai perginya, Apa tidak sadarkan diri. Kami anak2nya, sudah diberitahu oleh dokter mengenai kondisinya. Jika pulih, Apa tidak akan sembuh seperti sedia kala. Dokter pun mengatakan, kemungkinan buruk akan terjadi setiap saat. Kami sudah siap. Banyak orang tua menasihati, apa pun yang terjadi, semoga itu yang terbaik buat Apa.

Jumat pagi, Apa menghembuskan nafas terakhir. Saya yang sudah menyiapkan diri akan kemungkinan ini, ternyata tetap terkejut sedih. Saya berlari menangis memeluk mama. Kesedihan yang tak terhingga. Apa sudah pergi utnuk selamanya. Saya tidak bisa lagi ngobrol, berantem, jalan2, becanda, bergelayut manja, dan menonton film larut malam berdua. Ada penyesalan dalam hati, sejuta seandainya yang ingin saya lakukan buat Apa, saya ingin mengucapkan terima kasih atas kasih sayang Apa selama ini, ingin mengucapkan saya sayang Apa, permohonan maaf atas kesalahan dan perbuatan nakal saya, ingin mengecup tangannya, yang selama ini tidak saya lakukan jika pergi kerja, saya ingin.....

Jumat itu, saya tidak bisa berlama2 menangis sedih. Kami anak2nya, membagi tugas. Adik-adik  saya pulang terlebih dahulu mempersiapkan rumah. Sedangkan saya dan kakak mengurus administarsi rumah sakit. Saya merasa, saat itu sebagai anak, saya melakukan  tanggung jawab terakhir seorang anak terhadap orangtuanya. Saya mengurus jenasah, pemakaman orang tua. Dengan air mata bercucuran, saya berlari dari kasir rumah sakit, menuju tempat pemandian jenasah, memesan mobil ambulans. Para lelaki shalat jumat. Saya menemani mama yang terlihat tegar, dan tetap mendampingi Apa. Saya mendapat kekuatan dari mama, dan menahan kucuran air mata.

Sampai di rumah, banyak saudara, tetangga, teman2 kami sekeluarga, termasuk sahabat2 Apa, sudah menunggu. Saya yang tadinya berusaha tegar, ketika bertemu sahabat dan famili, menangis lagi dalam pelukan. Berbagi kehilangan.

Di rumah tak kalah sibuknya. Menerima ucapan belasungkawa, meminta maaf dan doa bagi almarhum. Tangis tertahan untuk sesaat. Menuju pemakaman, saya sibuk mengatur adik2 dan keluarga berbagi kendaraan. Saya tersadar, semua orang ingin mengantar Apa, namun rumah kosong, saya langsung menitipkan rumah kepada saudara di samping rumah.

Dalam perjalanan, bunyi sirene ambulans seperti ratapan kesedihan. Di dalam ambulans itu terbaring ayah saya terkasih, menuju tempat peristirahatan terakhir. (Beberapa saat kemudian,  jika mendengar bunyi ambulans, saya selalu sedih).

Sampai tempat pemakaman, sudah banyak orang. Saya takjub dengan pertemanan Apa yang begitu luas. Beberapa hari kemudian, paman saya bercerita, bahwa kantor kosong, semua orang melayat mengantar kepergian Apa.

Pemakaman telah selesai. Berangsur-angsur orang beranjak pergi. Kami anak2nya masih terpaku di depan gundukan tanah. Enggan berpisah. Ingin memeluknya. Saya hanya mengusap nisan yang bertuliskan nama Apa. Saya melambaikan kecupan tangan.

Hari itu kami sangat lelah, fisik dan hati kami. Saya akhirnya mengerti, mengapa sebagian orang menganjurkan untuk tidak mengadakan tahlilan. Karena bagi yang sedang bersedih, tiada daya, sangat lelah.

Empat puluh hari setelah kepergiannya, kami masih merasakan bahwa Apa tidak pergi. Dia masih ada bersama kami. Ada kejadian yang mengejutkan. Dua hari setelah kepergian, ada orang bukan saudara bukan tetangga, yang meminta baju2 peninggalan Apa, jam tangannya, sepatunya. Saya marah saat itu. Tidak bisakah kami menyimpan kenangan2 Apa. Ternyata, begitulah adat yang berlaku. Bibi saya bercerita, ketika suaminya meninggal, banyak orang meminta barang2 suaminya, sampai2 dia tidak mempunyai barang2 kenangan. padahal yang lebih berhak atas barang2nya itu adalah anak2nya. Akhirnya mama membagi sebagian barang milik Apa untuk kami, saya mendapatkan sarung. Sisanya dibagikan mama kepada adik2 Apa, dan orang2 yang membutuhkan.

Dua hari setelah kepergian Apa, saya kembali pergi bekerja. Semua tetap berjalan seperti biasa. tetap berlari mengejar kereta. Kesedihan masih ada, tapi kita harus tetap berjalan, melanjutkan kehidupan, berbuat baik terhadap sesama, saling menyayangi dan memperhatikan saudara, lebih menjaga dan perhatian terhadap mama. Saya jadi suka cium tangan mama kalau mau pergi, mengajaknya jalan2, temenin ke kondangan, mendengarkan ceritanya. Saya lebih menyayangi orang2 yang telah berbagi selama kami tertimpa musibah dan kesedihan.

Orang yang sudah pergi, sudah beristirahat dengan tenang. Sedangkan kita yang masih hidup, masih harus melanjutkan kehidupan. Karena hidup berjalan terus...

1 komentar:

  1. titip salam dan doa buat apa ya
    apa aku jg udah meninggal sejak mei 2000
    perasaannya hampir sama....secara aku dekat sama apa...

    BalasHapus